What is Happiness?

Saat itu jika ada yang menanyakanku apa yang ingin kucapai dalam hidup ini, aku akan menjawab “aku ingin bahagia”. Pikirku, jika nanti aku telah hidup mandiri tanpa mendapat bantuan finansial lagi dari orangtuaku dan ketika aku berhasil meraih mimpi, maka aku akan bahagia. Pertanyaannya adalah, apa sekarang aku belum bahagia?
Aku bahkan tidak mampu menjawab pertanyaan yang kuajukan pada diri sendiri kala itu. Apa tersenyum saat mendengar suara mama di seberang sana termasuk bahagia? Apa tertawa terpingkal-pingkal karena tingkah konyol idolaku yang kutonton termasuk bahagia? Apa berjalan sendiri sambil mendengarkan musik dan menikmati angin petang termasuk bahagia? 
     Aku tak tahu. Sebenarnya, definisi bahagia itu seperti apa? Aku tidak yakin apakah sekarang aku hidup dengan bahagia sementara di dalam benakku masih banyak pikiran dan perasaan yang mengganjal, kekhawatiran yang kusembunyikan dan ketidaberdayaan yang sebenarnya tak ingin kuakui.
Kegundahanku di penghujung tahun 2017 ini tidak berlangsung lama ternyata. Tidak hingga aku menonton Kim Namjoon, seorang leader dari boygroup BTS saat ia memberikan last statements-nya di salah satu konser mereka. 
  ”Happiness isn’t something that you have to achieve. You still can happy during the.    process of achieving something. So if you change the perspective a litle bit, I know.      many people are going through tough times right now. But this moment can be the      most beautiful moment of our lives.”

     Ketika mendengar kalimatnya tersebut, kesadaranku serasa dihantam balok es. Aku membeku dan terhipnotis oleh kata-katanya. Maaf untuk replay button-ku, tapi seingatku kurang lebih empat sampai lima kali aku menonton bagian Namjoon tersebut. Alhasil, kata-katanya tentang ‘kebahagiaaan bukanlah sesuatu yang harus kau capai’ terngiang-ngiang dan tertanam dalam hati dan otakku. 
        Saat itu aku menyadari bahwa ternyata diriku yang kukira telah cukup umur untuk dikatakan dewasa ternyata belum dewasa. Fakta bahwa aku pernah ingin bahagia dan menetapkan bahwa bahagia adalah tujuan utama hidupku adalah sesuatu yang kekanakan, karena pada dasarnya kita tetap bisa bahagia selama proses dalam mendapatkan sesuatu yang lain. 
         Definisi bahagia kembali aku peroleh ketika aku berada di fase rendah dalam hidupku, sebulan kemudian ketika saat itu aku tidak punya siapa-siapa untuk sekedar berbagi pikiran yang menjerat jiwaku, namun dengan cara self-healing-ku* aku berjumpa dengan titik balik kehidupanku. 
        Terima kasih untuk Ny. Elisabeth Kubler yang telah mengupas tuntas tentang hal yang masih menjadi pertanyaanku saat itu, ‘Apa itu Kebahagiaan?” dalam bukunya Life Lessons pada sub tema “Happiness”. Dalam buku itu dikatakan olehnya bahwa, “Happiness depends not on what happens, but on how we handle what happens. Our happiness is determined by how we interpret, perceive and integrate what happens into our state of mind. Are we committed to seeing the worst in people and situations or the best?”
       Tulisannya di paragraf akhir itu membuatku merenung cukup lama. Kenyataan bahwa kita tidak selamanya bahagia atas sesuatu yang terjadi melainkan kita juga tetap bisa bahagia tergantung bagaimana kita menyikapi suatu hal, membuatku semakin paham bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang harus kujadikan tujuan hidupku di masa depan. Jika aku mengejar kebahagiaan, yang lebih parahnya lagi kusandingkan dengan pencapaian mimpi dan kepuasan finansial semata, maka aku termasuk orang yang merugi dan kebahagiaaan yang kucari itu tidak akan pernah kutemukan.
        Jika aku tidak mampu menyikapi hal kecil di sekitarku dan melihatnya dari sisi positif maka tidak menutup kemungkinan bahwa segala standar yang kutetapkan untuk bahagia saat itu juga tidak mampu kulihat dari sisi positifnya.
       Bahagia itu sederhana.
    Bercengkrama dengan mama dan menggoda adikku meski saat itu aku ingin memuntahkan kekecewaan pada diriku, itu bahagia. 
     Menikmati langit jingga sambil bersenandung mengikuti irama musik di playlist-ku, itu bahagia.
       Melewati 24 jam-ku dengan produktif, itu bahagia.
       Menyelesaikan tulisan ini setelah sering kali kehabisan ide, itu bahagia.
     Telur rebus dan semangkuk mie rebus untuk makan malam di saat persediaan uangnku menipis, itu bahagia.
     Berani mengakui kesalahan dan meminta maaf, itu bahagia. Kau bisa rasakan sendiri jika mencobanya.
   Membicarakan hal konyol hingga hal-hal dalam tentang kehidupan, saling menggoda dan menyemangati bersama teman-temanku hingga pagi buta, itu bahagia. 
      Memilih menggunakan waktu liburmu untuk dijadikan Me Time dan melakukan hobimu sendirian, itu bahagia.
     Merasa dipermainkan oleh orang dewasa yang punya jabatan lalu tersadar bahwa itu semua proses untukku dalam melatih kesabaran dan menjadi lebih baik, itu bahagia. 
     Menahan air mataku untuk tidak tumpah sepanjang jalan, menangis sendirian kemudian sadar aku masih punya orang yang betul-betul peduli padaku, itu bahagia. 
     Sebagai reminder aku menulis kalimat yang dikatakan Namjoon dan Ny. Elisabeth Kubler dalam  note apelku yang kutempel di dinding dekat cermin. Tiap kali aku bercermin, maka kalimat mereka yang akan kubaca untuk memulai hari. Aku bisa merasakan manfaatnya dari hal kecil yang kulakukan tersebut, karena biasanya jika ada hal yang tidak sesuai dengan keinginanku atau di saat aku merasa ketidakadilan sedang menertawakanku, maka aku berusaha untuk mengutip kalimat mereka dalam hati dan mencoba melihat hal tersebut dari sisi yang lebih cerah. Tidak mudah memang. Tapi tidak ada salahnya dicoba untuk self-healing. 
    Jadi kesimpulannya, bahagia bukan lagi menjadi tujuan hidupku di masa depan. Aku sadar bahwa aku bisa bahagia saat ini juga. Merasa bahagia itu mudah, tidak perlu izin dan uang, karena kebebasan dan kesadaran diri kita lah yang menentukannya.

*: caraku menyembuhkan diri dari berbagai masalah, yaitu dengan membaca buku. Terima kasih untuk penderitaan di masa muda yang berhasil membuatku menemukan caraku untuk sembuh!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review buku Haruki Murakami: Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya

OPINI- INTROVERT, Bawaan lahir atau impact lingkungan?