Hari AIDS SEDUNIA: Bagaimana Saya Melihat ODHA sebagai Orang yang Menginspirasi

Pengalamanku bersama ODHA:
How I see them as Inspiring People




Selamat hari AIDS sedunia! Ketika melihat trending twitter pagi ini, hastag #WorldAIDSDay berada di puncak teratas. Netizen banyak mengirim dukungan melalui tulisan singkat mereka di plattform tersebut, menyuarakan gaungan para pejuang HIV dan AIDS “Jauhi Penyakitnya, bukan Orangnya”. Maka, untuk memperingati hari AIDS sedunia, saya mencoba berbagi pengalaman dan pandangan tentang Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) selama saya menghabiskan waktu beberapa hari bersama mereka.

Singkatnya untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan, saya mengambil judul penelitian terkait self-esteem ODHA atas labelling dan diskriminasi yang diterima. Untuk memenuhi target penelitian, maka saya bersama pendamping penelitian menemui beberapa teman-teman ODHA di pusat pelayanan HIV dan AIDS di salah satu rumah sakit. Melalui perkenalan singkat kepada lima ODHA dan berbekal beberapa pertanyaan yang telah saya siapkan untuk wawancara, percakapan diantara kami berlangsunng lama dan somehow saya bisa merasakan perasaan hangat menjalar dan menghangatkan hati.

Dua diantara lima ODHA adalah ibu rumah tangga yang tertular oleh mendiang suami, dua lainnya adalah tertular karena melakukan seks sesama jenis dan satu ODHA tertular karena pengalaman seks bebas di masa lampau. Berdasarkan data kasus AIDS tahun 2017, ibu rumah tangga menempati grafik teratas terinfeksi HIV diantara pekerjaan-pekerjaan lainnya. Seks pasangan heteroseksual menyumbang lebih besar angka presentasi jumlah ODHA dibanding seks pasangan homoseksual, hanya saja kali ini saya diberi kesempatan untuk menemui dan mendengarkan cerita dari dua pasangan homoseksual. Data selengkapnya mengenai ODHA bisa teman-teman cari di portal online jika tertarik untuk menambah wawasan.
Mengulik luka lama dalam hidup dan membukanya kembali bukanlah suatu hal mudah yang mau dilakukan oleh setiap orang, maka pada kesempatan kali ini saya sekali lagi berterima kasih kepada kelima teman ODHA yang sudah mau berbagi cerita yang mampu membuka mata hati dan pikiran saya. Waktu yang saya habiskan bersama mereka tidaklah banyak, namun tidak sulit juga melihat baiknya orang dalam waktu yang singkat itu.

Ketika ditanya mengenai perasaan teman-teman ODHA saat mengetahui mereka tertular virus HIV, gerak tubuh mereka menjawab tak nyaman. Merespon pertanyaan dengan hembusan nafas kasar, pandangan yang bergerak liar dan mengubah posisi duduk seolah tak nyaman. Merasa tak enak, saya hanya bisa mengangkat kedua alis dan memaksakan senyum, mencoba mempersuasi lawan bicara seolah berkata ‘tidak apa untuk bercerita, saya disini  untuk mendengarkan kisah anda’ dengan raut wajah harap-harap cemas.

Respon mereka hampir sama kala itu. Pertama, mereka menolak untuk percaya. Mereka mempertanyakan kenyataan kenapa harus mereka? Dari sekian banyak orang di dunia ini, kenapa harus mereka yang terinfeksi? Kenapa harus seorang istri yang selalu menyiapkan kebutuhan suami, memberikan hati dan baktinya untuk suami, yang harus divonis positif HIV? Kenapa di saat mereka meluapkan perasaan dan gairah seksual pada pasangannya justru memberi mereka dua garis merah pada alat tes infeksi HIV. Mereka mempertanyakan keadilan Tuhan, memaki keadaan dan kenyataan dan mengurung diri dalam kalutnya pikiran.

Fase selanjutnya yang mereka alami yaitu perlahan mulai menerima kenyataan yang ada. Melihat bagaimaa tubuh mereka memberikan reaksi atas hidupnya virus dalam tubuh membuat mereka menyerah menentang realita. Tidak mudah bagi setiap ODHA ini untuk berdamai dengan kenyataan, ketika keluarga sebagai orang terdekat masih menolak presensi mereka sebagai aib. Peralatan makan dan mandi dipisahkan, kamar dipisahkan dari sebelumnya, tidak diakui sebagai istri, dijauhkan secara paksa dengan anak-anaknya, bahkan sampai disalahkan atas kematian suami yang sesungguhnya berperan sebagai pihak yang menularkan. Tidak cukup sakit fisik, mereka juga harus menderita sakit psikis yang membuat kondisi tubuh semakin buruk. Pikiran seperti ingin menghabisi nyawa sendiri terus terlintas dalam benak, meragukan nilai hidup ketika mereka sendiri sebagai manusia telah ditolak keberadaannya oleh orang terdekat.

Tahap selanjutnya berjalan lebih baik karena mereka mulai gencar diberi obat terapi dan konseling oleh pihak Voluntery Counseling Test (VCT) rumah sakit. Para pendamping ODHA mendekati mereka secara personal, menganjurkan berobat dan memberi pengetahuan lebih tentang apa itu HIV dan AIDS pada mereka yang telah terinfeksi.Tidak hanya itu, pendamping ODHA yang ada juga aktif mendekati keluarga yang masih menolak para ODHA untuk berada di dekat mereka. Hanya dalam beberapa bulan terapi obat dan konseling, fisik ODHA yang awalnya kurus, kecil, lemah berubah menjadi lebih berisi, kondisi sistem imun membaik, memahami dengan baik tentang  HIV dan AIDS serta penularannya dan kembali berhubungan baik dengan keluarga tercinta.

Perjuangan ODHA untuk sekedar hidup damai dalam berjuang melawan penyakit tidak berhenti sampai di situ. Mereka masih harus melawan stereotipe yang ada di masyarakat mengenai ODHA dan HIV itu sendiri. Di dalam kehidupan sosial, mereka tidak dimanusiakan seperti seharusnya. Diusir dari tempat kerja, dicibir, dipisahkan secara sengaja dengan manusia ‘sehat’ lainnya dan dipermalukan di depan banyak orang.

Sekarang, mari membahas mengenai poin penting dari teman-teman ODHA ini. Proses berdamai dengan keadaan bukan hanya bualan semata, karena faktanya dengan segenap hati dan keikhlasan yang mereka punya, para ODHA ini benar-benar mencoba dan berusaha untuk terus berdamai dengan keadaan. Terlepas dari berbagai cemooh yang diterima, seorang ODHA yang dulu pernah mendapat perlakuan tidak manusiawi oleh pelanggannya (si pelanggan membuang barang dagangan ODGA tepat dihadapan dirinya ketia ia mengetahui status positif HIV ODHA), kini bergerak dari satu desa ke desa lain, dari satu kota ke kota lain bersama timnya untuk memberi penyuluhan, pencerahan, kepada masyarakat awam mengenai HIV dan AIDS serta kepada  para ODHA yang baru terinfeksi untuk tidak hidup dalam penyesalan.

ODHA lainnya juga berdamai dengan keadaan terlepas pernah dipermalukan oleh seorang pemuka agama di daerahnya, kini ia hidup bahagia dengan istri dan satu anaknya. Ia juga aktif bekerja sebagai pendamping ODHA karena tidak ingin ada orang lain yang harus menderita sama seperti dirinya dulu.

Ibu rumah tangga lain yang berstatus ODHA setelah ditularkan dan ditinggalkan suaminya ini juga berjuang keras berdamai dengan keadaan. Walau ia sering diperlakukan tidak adil oleh orang lain mengenai status kesehatannya, ia tetap bekerja dan stay positive, demi anak-anaknya. Hidup sebagai single parent dengan tiga anak laki-laki yang harus dibesarkannya membuat dirinya menjadi kuat, tidak larut terlalu lama dalam mempertanyakan keadilan dan menyalahkan keadaan.

Atau seorang ODHA yang tertular karena perilaku seks sesama jenisnya yang kini hidup hanya untuk kedua orangtuanya. Rasa terima kasih dan bersyukur karena kembali diterima dalam pelukan hangat keluarga membuatnya berhenti menemui kekasihnya serta mulai hidup dengan merintis karir dan masa depannya.

Melihat bagaimana teman-teman ODHA yang terlihat cukup gelisah di awal wawancara perlahan menjadi santai dan bangga menceritakan perubahan dalam hidup mereka, membuat saya berpikir memang benar adanya bahwa kita juga bisa menemukan sisi terbaik diri kita dalam keadaan terburuk sekalipun. Tentu saja lebih mudah menemukan sisi terbaikmu di saat keadaan terbaik dalam hidupmu, semua orang menginginkan itu. Namun, jangan abaikan kesempatan yang disediakan bagi diri kita untuk merefleksikan diri and find the best of you.

Selama wawancara berlangsung, salah satu ODHA menyampaikan pesan dengan harapan suaranya bisa didengar oleh banyak orang. Ia berharap buku ajaran di sekolah yang selama ini menulis tentang HIV dan AIDS untuk tidak lagi memberikan gambar ODHA dengan kondisi tubuh kurus kering seolah tak dapat tertolong lagi. Menurutnya itu adalah titik utama bagaimana streotipe masyarakat tentang HIV dan AIDS begitu buruk, karena buku ajaran yang tentunya dipercayai isinya menggambarkan seolah HIV dan AIDS adalah penyakit mematikan dan sangat berbahaya untuk umat manusia. Menimbulkan prasangka pada pembaca bahwa ODHA adalah manusia kotor, pendosa, aib yang harus dijauhi dan diasingkan karena latar belakang dan fisik lemahnya. Padahal di lapangan kondisi fisik ODHA yang menerima terapi obat bisa dikatakan lebih bugar daripada orang-orang ‘sehat’ lainnya. ODHA tidak lemah, ODHA punya harapan hidup, ODHA punya masa depan.

Teman ODHA ini juga berharap agar ia tidak perlu lagi menghadapi cemooh orang tentang status kesehatannya. Saya tidak tahu bagaimana harus membendung prasangka buruk yang menyebar di masyarakat, namun bagaimana kalau kita membayangkan berada di posisi mereka. Merasa sakit namun digunjing, butuh seseorang untuk bercerita namun justru dipermalukan di depan banyak orang, mau makan bersama namun langsung dijauhi. Tentu tidak ada seorang pun dari kita yang ingin diperlakukan seperti itu. Lalu mengapa repot-repot melakukannya pada orang lain?

Kita tidak punya hak atau pembenaran sama sekali untuk menggunjing atau menghina ODHA. Kita hanya melihat status yang mereka bawa sebagai positif HIV, namun kita tidak melihat kenapa mereka terinfeksi dan tidak tahu apa yang telah mereka lalui hingga hari ini. Tidak karena kita bersih dari HIV lantas seenaknya berbicara dan menghakimi. Bukan berarti di sini saya bertindak sok suci tanpa dosa, karena sebagai manusia tentu kita punya prasangka dan opini namun alangkah baiknya apabila kita tidak asal melempar prasangka pada ODHA yang ditemui. Simpan prasangka buruk dalam pikiran, berusaha mengolah kata sebaik mungkin untuk diucapkan agar tidak menyakiti hati mereka dan mencoba lebih mengenal dan memahami lewat percakapan ringan dengan mereka. Mungkin bisa dilakukan dengan duduk dan makan bersama, kemudian saling bertukar cerita. Tidak perlu khawatir apabila tertular karena HIV hanya dapat tertular apabila memenuhi syarat yang ada, yaitu adanya exit, survive, sufficient, dan enter. Keempat syarat ini harus terpenuhi semuanya agar manusia dapat tertular HIV.

Exit, berarti virus harus keluar dari tubuh orang yang terinfeksi, baik melalui hubungan seksual, transfusi darah atau jarum suntik yang terkontaminasi. Survive, berarti virus harus bisa bertahan hidup di luar tubuh, agar dapat menularkan HIV (virus HIV tidak dapat hidup di kulit dan tidak dapat bertahan lama di luar tubuh). Sufficient, berarti jumlah virusnya harus cukup untuk dapat menginfeksi, jika virusnya hanya sedikit maka tidak akan berpengaruh. Enter, berarti virusnya harus masuk ke dalam tubuh orang lain melalui aliran darah, seperti pertukaran darah antara ibu dan bayi selama kehamilan atau bersalin, hubungan seksual serta alat tusuk tidak steril yang menembus kulit.

Mungkin, sebagian orang yang membaca ini akan menganggap tulisan ini omong kosong tapi sungguh, teman-teman ODHA yang saya temui adalah orang yang menginspirasi. Mereka melawan sisi gelap dalam diri sendiri, bangkit dan berjuang untuk hidup. Hidup yang mungkin bagi sebagian orang adalah ketika membuka mata dari tidur malammu dan melakukan rutinitas sehari-hari lalu kembali tidur, namun mereka, dengan caranya sedikit berbeda. Mereka bertahan hidup untuk orang yang disayang, orangtua, anak, kekasih, kemudian berjuang dengan meyakini bahwa terlepas dari apapun pandangan dan hinaan orang lain, mereka juga punya masa depan. Mereka tidak berbeda dengan kita, si ‘sehat’ yang kadang lupa untuk bersyukur. (k)



Sumber: kompas.com/prinsip.penularan.hiv/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review buku Haruki Murakami: Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya

OPINI- INTROVERT, Bawaan lahir atau impact lingkungan?