Debat Analogi Perempuan Sama dengan Permen

 

Istilah analogi sering kali digunakan di kehidupan sehari-hari. Paham gak paham, yang penting pakai saja istilahnya, biar dibilang keren. Biar sama-sama paham, kita lihat dulu pengertian analogi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, analogi adalah persesuaian antara kedua benda yang berlainan. Menurut Soekadijo, analogi adalah berbicara dua hal yang berlainan, yang satu bukan yang lain dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan dengan satu dan yang lainnya.

            Intinya, analogi melihat obyek yang kompleks kemudian menyederhanakannya dengan sebuah perbandingan agar subyek kompleks tersebut lebih mudah dipahami. Masalahnya, belakangan ini analogi yang digunakan dengan tujuan menyederhanakan suatu konsep pembelajaran, oleh beberapa kalangan dianggap tidak pantas dan menjatuhkan martabat manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Analogi “perempuan harus menutup auratnya, sama seperti bungkusan permen, jika permen tidak dibungkus maka tidak akan ada orang yang mau memakannya.” Atau analogi “laki-laki mah sama kayak kucing, kalo dikasih ikan ya mau lah, disamperin langsung.” adalah analogi yang sering dikumandangkan dan mengundang banyak reaksi, baik positif maupun negatif.

            Sebelumnya mari kita telusuri latar belakang analogi perempuan sama seperti permen. Analogi ini datang dari seorang guru di sekolah Islam yang hendak mengajarkan manfaat menggunakan hijab kepada murid-muridnya. Si guru meletakan sejumlah permen di atas meja, sebagian permen dibuka bungkusnya dan sebagian diletakkan utuh dengan bungkusan. Kemudian si guru meminta muridnya mengambil permen untuk dimakan. Murid-murid si guru maju dan mengambil permen yang utuh dengan bungkusnya. Si guru bertanya, “kenapa tidak diambil permen yang udah ibu buka bungkusnya?” kemudian murid-muridnya menjawab dengan penuh keyakinan bahwa permen yang tidak ada bungkusnya mungkin terkena kuman atau kotoran yang dapat membahayakan mereka. Si guru tersebut lalu berkata, “permen ini seperti kalian, sedangkan bungkus ini adalah ibarat hijab. Tatkala ada laki-laki yang ingin menikah, maka ia akan mencari wanita shalihah yang dapat mendatangkan manfaat, seperti permen yang terbungkus ini.”

Apakah tujuan si guru dengan menggunakan analogi tersebut telah terapai? Bisa dibilang iya, karena tujuannya adalah memberitahukan manfaat hijab kepada muridnya, yang salah satunya adalah menjadi kriteria laki-laki dalam memilih pasangan. Perbandingan perempuan dengan permen seharusnya tidak menjadi soal karena analogi yang dibangun memenuhi definisi, dimana menggunakan perbandingan dua hal yang berbeda dengan cara melihat persamaan dari dua hal yang dibandingkan sehingga dapat digunakan untuk mempejelas suatu konsep.

Jika bantahannya contoh-contoh analogi di atas adalah merendahkan martabat manusia karena dibandingkan dengan suatu obyek tertentu, seharusnya contoh analogi seperti “si A & B sama seperti kucing dan tikus, kerjaannya selalu bertengkar.” atau “bertemu denganmu seperti menemukan oasis di tengah padang pasir” juga ikut diperdebatkan dan dibantah karena sama-sama membandingkan manusia dengan obyek tertentu. Tapi tidak ikut diperdebatkan, kan? Andai latar belakang analogi perempuan sama seperti permen diketahui orang khalayak umum, apa juga akan heboh diperdebatkan layaknya saat ini?

Kumandang perempuan tidak sama dengan permen, tidak semua laki-laki seperti kucing memiliki poin yang sama dimana manusia tidak harusnya dibandingkan dengan objek tertentu. Klaim menentang datang lebih keras dari kaum feminis yang sangat menolak analogi perempuan adalah permen karena pembelaannya perempuan bukan sekdar onggok daging pasif, perempuan punya intelegensi, punya perasaan, keinginan, tenaga, spiritualitas dan kelebihan lainnya. Perempuan, tertutup maupun tidak, adalah berharga, bisa membuat keputusan sendiri, bisa berkata tidak pada tekanan dan bisa menggunakan otak dan hatinya untuk memecahkan masalah.

Sebagai sesama kaum yang mengamini women support women, saya paham betul poin dari beberapa feminis seperti di atas. Konsep perempuan adalah utuh sebagai manusia yang patut dihargai dan diperlakukan sama, tidak ada pengecualian apalagi jika hanya dilihat dari pakaiannya. Namun kembali lagi kepada analogi perempuan sama dengan permen, jika bantahan yang dilontarkan atas analogi tersebut maka rasanya poin yang disampaikan kurang pas, karena analogi itu sendiri berdiri utuh dan telah menjawab tujuan awalnya.

Saya sendiri sudah lama mengamini konsep perempuan bukanlah permen, karena triggered atas isu-isu patriarki dan ketidaktahuan soal latar belakang lahirnya analogi perempuan sama dengan permen. Namun, pagi ini saya merasa tergelitik untuk kembali mencerna dan mencari tahu perkara sebenarnya, ketika membaca sebuah pertanyaan, “apa manusia tidak bisa dibandingkan dengan benda? Padahal analogi adalah membandingkan dua hal berbeda yang ditarik kesimpulan yang sama.” Pikiran saya otomatis langsung mengarah pada fenomena suara-suara feminis yang lantang membantah analogi perempuan sama dengan permen. Semoga tulisan ini bermanfaat dan tentu saja saya terbuka untuk berdiskusi.

 

 

K.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review buku Haruki Murakami: Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya

OPINI- INTROVERT, Bawaan lahir atau impact lingkungan?